Peninjauan Kembali dalam Peradilan Perpajakan
Setelah adanya Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, para pihak yang bersengketa, baik Wajib Pajak selaku Pemohon Banding maupun Direktur Jenderal Pajak sebagai Termohon Banding, dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
Apa itu Peninjauan Kembali dalam peradilan pajak?
Secara ringkas, Peninjauan Kembali dalam peradilan perpajakan merupakan suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk meninjau kembali suatu Putusan Banding dari Pengadilan Pajak yang telah berkekuatan hukum tetap.
UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Pasal 77 ayat (3) mengatur “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.” Sedangkan Pasal 77 ayat (1) menentukan “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. [Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak]
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan di Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. Dalam peradilan perpajakan hal itu sama dengan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak.
Peninjauan Kembali dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (Putusan Banding dalam konteks pajak) apabila pada putusan itu diketahui bahwa terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.
Peninjauan Kembali tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa bebas.
Selain dari itu, dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi Pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah Agung tidak diperkenankan menjatuhkan putusan yang hukuman pidananya melebihi hukuman yang diajukan Peninjauan Kembali.
Dalam peradilan perpajakan, saya melihat ada 3 hal yang dapat mengganggu rasa keadilan para pihak.
Pertama, misalnya Wajib Pajak mendapat “Vonis” berupa SKPKB dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp10 milyar. Setelah melalui proses Keberatan, Wajib Pajak mengajukan Banding (=Kasasi) kepada Pengadilan Pajak. Putusan Banding menjadi jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp0 (nihil). Putusan Banding yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) itu telah membebaskan Wajib Pajak dari “Vonis”. Semestinya atas Putusan Banding itu tidak bisa diajukan Peninjauan Kembali karena Wajib Pajak (=Terhukum) sudah bebas dari hukuman.
Selanjutnya, Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung mestinya dengan hukuman yang tidak melebihi Putusan Banding. Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali seharusnya tidak menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi daripada Putusan Banding.
Terakhir, Wajib Pajak telah merasa adil dengan jatuhnya hukuman melalui Putusan Banding sehingga Wajib Pajak menerima Putusan Banding tersebut. Namun sebaliknya Direktur Jenderal Pajak merasa hukuman itu belum adil sehingga mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Ketika Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali tersebut, kini gantian Wajib Pajak pula yang merasa Putusan Peninjauan Kembali itu tidak adil, tetapi langkah hukum telah tertutup karena Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak mengatur bahwa Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Oleh karena itu, saya mengusulkan:
Pertama, tetap seperti sekarang ini bahwa Direktur Jenderal Pajak bisa mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung meskipun Wajib Pajak telah bebas dari hukuman menurut Putusan Banding dari Pengadilan Pajak.
Kedua, hukuman dalam Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung tidak boleh lebih tinggi daripada Keputusan Keberatan, kecuali dalam hal Putusan Banding lebih tinggi daripada Keputusan Keberatan, maka Putusan Peninjauan Kembali dapat paling tinggi sebesar Putusan Banding.
Ketiga, apabila para pihak masih belum puas dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, maka mereka masih memiliki hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali bagi setiap pihak kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Jadi masing-masing bisa mengajukan 1 (satu) kali Peninjauan Kembali.
Mudah-mudahan para pihak bisa memperoleh keadilan dalam menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.
Demikian, sekadar usul. Semoga bermanfaat.
Mohon maaf bila tak berkenan. Tetap semangat untuk Indonesia maju. Damailah negeriku, jayalah bangsaku, dan sejahteralah rakyatnya. Selamat berakhir pekan.
Riza Noor Karim
Jakarta, 10 Januari 2021.